gambar

gambar

Selamat Datang dan Selamat Membaca

SELAMAT DATANG DIDUNIA KEPERAWATAN DAN SEMOGA BERMANFAAT

Wednesday 2 July 2014

PERJALANAN PANJANG RUU-KEPERAWATAN MENJADI UU-KEPERAWATAN “DINAMIKA DAN SOLOSINYA”


P
embangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam mewujudkan hal tersebut pelayanan kesehatan merupakan bagian yang sangat penting dimana pada setiap unit pelayanan kesehatan, tenaga yang sangat mendominasi adalah perawat itu sendiri (33 % dari jumlah seluruh tenaga pelayanan kesehatan yang ada).

Aksi Damai Penuntutan RUU Keperawatan menjadi UU Keperawatan
Bagaimana Sejarah Perawat di Indonesia?

Jika dibandingkan dengan usia manusia, maka usia adanya perawat di Indonesia sangatlah tua, yaitu 214 tahun, sejarah perkembangannya tercatat dimulai pada tahun 1800-an yaitu pada saat terbentuknya sebuah rumah sakit di Batavia yang sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta, untuk pendidikannya pun juga sudah lama dimulai sejak 1820 yaitu pendidikan mantri cacar dengan masa tempuh pendidikan 6-12 bulan, ini merupakan cikal bakal dimulai adanya pendidikan profesi perawat di Indonesia. Perjalanan panjang yang mengalami pasang surut selama beberapa tahun seiring juga dengan perkembangan Bangsa Indonesia, maka pada akhirnya ditahun 1953 (8 tahun setelah kemerdekaan) dibukalah Sekolah Pengatur Rawat (SPR) dengan latar belakang sekolah menengah pertama (SMP) sekarang ini yang dibuka di 3 wilayah yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya. Situasi yang sangat memperlihat perkembangan dan sesuai dengan kebutuhan adalah pada tahun 1962 (17 pasca kemerdekaan) dengan di dirikannya akademi keperawatan yang dikenal dengan CBZ di lingkungan Rumah Sakit Ciptomangunkosomo Jakarta.
10 tahun kemudian para perawat indonesia mulia menyadari betapa pentingnya suatu wadah organisasi profesi untuk pengembangan keperawatan di Indonesia, maka pada tahun 1972 di deklarasikan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai wadah organisasi profesi perawat. Pada Lokakarya Nasional Keperawatan di tahun 1983 disepekati perawat adalah profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, hal itu diwujudkan juga dengan terbentuknya Prodi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, merupakan pendidikan strata satu pertama di Indonesia, yang lain juga dengan di akuinya keperawatan sebagai profesi berdasarkan UU Kesehatan No. 23 tahun 1992, perkembangan profesi keperawatan secara kuantitas semakin menunju kearah yang lebih baik maka sampai dengan tahun 2011 bersadarkan data PPSDM Kemenkes RI jumlah perawat di Indonesia berjumlah 220.000 orang (33%) merupakan profesi paling besar diantara yang lain, jika dibandingkan dengan bidan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya.

Mengapa Perlu Adanya Payung Hukum Bagi Profesi Keperawatan?

Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Maka tidak salah jika kita mendengar ada kalimat “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan), karena dengan kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, harmonis dan teratur. Penegakan Hukum tentunya berdasarkan peraturan perundang-undangan tertulis yang sudah ada. Apakah undang-undang yang mengatur profesi keperawatan belum ada? Jawabnya adalah ada, yaitu UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, pertanyaan yang lain apakah mampu profesi yang begitu besar secara kuantitas dan cakupan pelayan yang independen untuk melayani masyarakat dengan baik, aman dan nyaman hanya diatur dengan UU tersebut tentu jawabannya tidak, mengapa demikian?
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunjukkan, bahwa perawat melakukan tugas lain; yaitu menetapkan diagnosis penyakit (92.6%); membuat resep obat (93.1%); melakukan tindakan pengobatan di dalam maupun di luar gedung puskesmas (97.1%); melakukan pemeriksaan kehamilan (70.1%); melakukan pertolongan persalinan (57.7%). Hal ini terjadi tidak saja di Puskesmas terpencil tetapi juga di Puskesmas tidak terpencil. Selain itu (78.8%) perawat melaksanakan tugas petugas kebersihan dan (63.6%) melakukan tugas administrasi antara lain sebagai bendahara.
Pada keadaan darurat, “gray area” sering sulit dihindari. Dalam keadaan ini, perawat yang tugasnya berada di samping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di Puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola Puskesmas dan tentu saja hal ini tidak mendapatkan perlindungan hukum karena tidak dapat dipertanggung jawabkan secara professional.
Kemudian fenomena melemahnya kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntutan hukum terhadap tenaga keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Padahal perawat hanya melakukan daya upaya sesuai disiplin ilmu keperawatan.
Selain berbagai variabel diatas ada juga beberapa yang lain sebagai latar belakang diperlukannya pembuatan UU Keperawatan yaitu, keperawatan bukan dianggap komponen yang penting dalam berbagai pengambilan keputusan (kebijaksanaan), terdapatnya variasi proporsi kualifikasi tenaga keperawatan, sistem pengembangan jenjang karir yang tidak jelas, yang lain juga ditengah meningkatnya biaya kesehatan individual saat ini, pelayanan/praktik keperawatan preventif, promotif dan rehabilitatif akan mengurangi tingginya biaya kesehatan.
Selain itu di antara 10 negara di Asia Tenggara, 7 negara telah memiliki undang-undang yang mengatur tentang praktik keperawatan, sedangkan 3 negara, belum memiliki undang-undang praktik keperawatan adalah Indonesia, Laos dan Vietnam. Adanya undang-undang praktik keperawatan (Regulatory Body) merupakan salah satu prasyarat mutlak untuk ikut berperan dalam kancah global, apalagi Indonesia telah memproduk tenaga keparawatan dalam jumlah yang besar, hal tersebut terkait dengan mutu, standar praktik dan tentunya juga perlindungan hukum bagi penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan maka darinya hanya perawat yang memenuhi persyaratan yang mendapatkan izin melakukan praktik Keperawatan, selain itu juga menyangkut harkat dan martabat bangsa Indonesia.

Perjuangan Organisasi dan Insan Profesi Untuk Memperjuangkan Undang-Undang Keperawatan?

17 tahun sejak terbentuknya organisasi profesi perawat (PPNI) tahun 1989 organisasi sudah mulai mengarap RUU untuk diajukan ke DPR-RI, sampai akhirnya di tahun 2004 membuahkan hasil dimana RUU Keperawatan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) berdasarkan surat keputusan DPR-RI No. 01/DPR-RI/III/2004-2005 dengan nomor urut 160 dari 284 (dua ratus delapan puluh empat) serta menjadi RUU Prioritas tahun 2005-2009 namun pada akhirnya RUU ini tidak jadi dibahas, berbeda halnya dengan teman sejawat kedokteran pada tahun 2004 UU kedokteran di syahkan yaitu UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, walapun demikian tidak membuat urung niat baik organisasi untuk tetap memperjuangkan RUU menjadi UU maka, pada tahun 2009 masuk kembali dalam Prolegnas dengan nomor urut 26 bersamaan dengan itu pada hari senin, 8 Juni 2009 PPNI pusat dengan 5000 perawat melakukan aksi damai di depan gedung Parlemen untuk mendesak DPR-RI segera mengesahkan RUU Keperawatan, tetapi juga tidak membuahkan hasil, lalu pada tahun 2010 RUU kembali masuk dalam prolegnas dengan nomor urut 18 akan tetapi RUU masih juga belum dibahas bahkan ada muncul RUU yang lain yaitu RUU tenaga kesehatan yang dianggap sebagai “RUU Siluman” dibahas pada paripurna DPR-RI pada 20 Oktober 2010 melalui komisi IX DPR-RI, maka pada 15 Oktober 2012 diseluruh indonesia dilakukan kembali aksi damai untuk mendesak DPR-RI mengesahkan RUU keperawatan menjadi UU Keperawatan, di Jakarta sendiri aksi ini dilakukan oleh lebih dari 1000 perawat dari berbagai macam almamater, sehingga akhirnya panja diwakili oleh fraksi demokrat dr. Nova (ketua panja), Ansori (PKS), dr. Dian (Demokrat) dan Supriyatno (Gerindra) berjanji “akan menyelesaikan RUU Keperawatan maksimal Oktober 2013, kemudian Panja RUU Keperawatan juga berani memastikan bahwa pada saat Rapat Pleno Komisi IX nanti yang akan berlangsung 22 Oktober 2012, RUU Keperawatan bisa dipastikan akan masuk ke Badan Legislatif (Baleg) dan pada kenyataanya janji tersebut terpenuhi adanya, akan tetapi perjuangan RUU masih panjang setelah RUU keperawatan masuk ke Baleg dan sudah diputuskan di Paripurna DPR-RI setelah itupun, akan diberikan ke Presiden yang kemudian menunggu Amanat Presiden (Ampres) untuk ditindaklanjuti ke berbagai kementrian terkait yang akan mewakili pemerintan untuk membahasnya bersama DPR (Pansus) yang kemudian pada Raker pertama antara pansus dan menteri-menteri terkait menghasilkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) lalu diikuti raker-raker lanjutan sesuai kebutuhan. Setelah pembahasan dengan Kementrian terkait selesai maka dibentuk Panitia Kerja (Panja) untuk mematang pembahasan RUU serta dibentuk tim perumus dan tim singkronisasi setelah selesai maka dilakukan pleno Pansus untuk membaca hasil, kemudian Banmus dan Ketua/pimpinan DPR melakukan rapat untuk menetapkan jadwal paripurna, di paripurna DPR mengetuk palu pengesahan RUU menjadi Undang-Undang kemudian Presiden menandatangani UU dan dimasukan dalam lembar negara, untuk saat ini RUU keperawatan sudah diputuskan sah sebagai RUU inisiatif DPR-RI pada paripurna 12 Februari 2013 dan sudah diberikan kepada presiden dimana pada tanggal 8 April 2013 Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, mengeluarkan surat  yang bersifat SANGAT SEGERA dengan intinya menginstruksikan kepada lima kementrian terkait agar segera membahas RUU Keperawatan, salah satu kementrian yang sangat berperan yaitu kemenkes yang sekarang di pimpin oleh Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH pada masa sidang DIM terdapat banyak masalah diantaranya seperti yang disampaikan Zuber Safawi (anggota komisi IX DPR-RI) “ada 131 DIM yang dihapus atau sekitar 60 persen, tetapi menambahkan substansi baru tentang bidan sebanyak 160 DIM baru” hal yang lain adalah keinginan Menpan untuk menghapus konsil keperawatan dalam RUU Keperawatan dengan alasan anggaran yang harus disiapkan oleh pemerintah, Upaya pemerintah untuk memasukan Kebidanan dalam DIM RUU Keperawatan melanggar ketentuan yang berlaku dalam UU No 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta belum adanya kajian akademis, uji publik, dan studi banding tentang Kebidanan untuk dimasukan dalam RUU Keperawatan akan menyebabkan kebijakan yang dihasilkan asal-asalan. Jika kebidanan tetap dimasukan dalam RUU keperawatan, maka ini termasuk misconduct atau “kejahatan akademik” alasan kemenkes yang mengatakan bahwa RUU Keperawatan dan Kebidanan bisa digabungkan karena berasal dari satu rumpun serta untuk memikirkan efektif dan efesiensinya prosesnya. Penyataan diatas pun dapat terjawab langsung. Pertama, tidak ada satupun UU yang menjelaskan bahwa Kebidanan dan Keperawatan merupakan satu rumpun, Kedua, alasan efektif dan efesien tersebut bukan alasan akademis yang bisa diterima untuk melahirkan sebuah Undang-undang.
Setelah berbagai hal yang alot terjadi dalam Raker-raker RUU keperawatan antara DPR dengan pemerintah, akhirnya menemukan titik temu pada raker 18 September 2013, yaitu DPR dan pemerintah sepakat RUU tetap RUU Keperawatan, DPR menyepakati DIM dari pemerintah, membentuk Panja RUU berjumlah 29 orang masing-masing dari wakil fraksi, pemerintah mengajukan penjabat eselon I membidangi untuk membahas substansi RUU berdasarkan DIM, setelah raker dalam komprensi persnya tersebut Prof. Achir Yani yang mewakili PPNI dalam mengawal RUU Keperawatan mengatakan “Yang harus kita kawal saat ini adalah substansi dari UU Keperawatan itu sendiri yang akan dibahas oleh Kemenkes dan DPR, jangan sampai merugikan perawat”. Hal yang lain yaitu terjadinya pertemuan tertutup antara ketua DPR (Marzuki Ali) dengan Kemenpan (Azwar Abubakar) pada Senin, 6 Januari 2014 membahas permasalahan konsil dalam  komprensi persnya Marzuki Ali mengatakan "Pihak kementerian tidak ada masalah sepanjang Konsil ini tetap dibawah kendali pemerintah, terserah mau otonom atau tidak itu masalah teknis"
Masa sidang setelah keputusan 18 September 2013 adalah 18 Februari 2014 merupakan sidang pleno Pansus, namun hal ini gagal digelar karena anggota sidang tidak memenuhi korom, dimana hanya 6 legislator yang hadir dari 17 legislator, dimana 6 legislator adalah dari fraksi (Demokrat, PKS, PPP, PDIP) dan 11 legislator yang tidak hadir berasal dari fraksi (Gerindra, Hanura, PAN, Golkar dan PKB), sehingga akhirnya memutuskan sidang akan dijadwal ulang pada bulan april 2014 tanpa kepastian tanggal pelaksanaan, kondisi ini sangat merugikan bagi RUU keperawatan karena masa sidang Paripurna hanya tinggal satu kali untuk periode DPR-RI 2009-2014, jika Pleno pada bulan april 2014 mengalami jalan buntu (tidak menghasilkan kesimpulan) maka solosinya adalah perawat benar-benar melakukan mogok kerja nasional pada 12 Mei 2013 bertepatan pada Hari Keperawatan Sedunia sebagai bentuk kekecewaan dan mendesak DPR-RI mengesahkan RUU pada periode ini, jika tidak nasib RUU keperawatan kembali ketitik nadir, perjuangan yang dilakukan PPNI selama 10 tahun harus dimulai dari awal kembali.

No comments:

Post a Comment