2.1. Konsep Dasar
2.1.1. Pengertian
Benigna
Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah
pembesaran jinak kelenjar
prostat, disebabkan oleh
karena hiperplasi beberapa
atau semua komponen
prostat meliputi jaringan
kelenjar / jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars
prostatika ( Lab / UPF Ilmu
Bedah RSUD dr.
Sutomo, 1994 : 193
).
Pendapat
lain mengatakan bahwa
BPH adalah pembesaran
progresif dari kelenjar
prostat ( secara umum
pada pria lebih
tua dari 50
tahun ) menyebabkan
berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan
aliran urinarius ( Marilynn,
E.D, 2000 : 671 ).
2.1.1.1. Anatomi Fisiologi
2.1.1.1.1. Buli-Buli
Buli-buli
merupakan organ berongga yang terdiri atas tiga lapis otot destrusor yang
saling beranyaman. Disebelah dalam adalah otot sirkuler, ditengah merupakan
otot longitudinal, dan paling luar merupakan otot sirkuler. Mukosa buli-buli
terdiri atas sel-sel transisional. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan
meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum
buli-buli.
Secara
anatomi bentuk buli-buli terdiri atas tiga permukaan , yaitu: permukaan
superior yang berbatasan dengan rongga peritonium, dua permukaan inferior
lateral, dan permukaan posterior. Pemukaan superior adalah merupakan lobus
minoris
( daerah terlemah )
dinding buli-buli.
Buli-buli
berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui
uretra dalam mekanisme miksi ( berkemih ). Dalam menampung urine, buli-buli
mempunyai kapasitas maksimal yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih
adalah 300-450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada anak –anak menurut formula Koff adalah :
Kapasitas
buli-buli = { umur (tahun ) + 2 } x 30 ml
Pada
saat kosong buli-buli terletak dibelakang simpisis pubis dan pada saat penuh
berada diatas simpisis sehingga dapat dipalpasi dan di perkusi.
Buli-buli
yang terisi penuh memberikan rangsangan pad syaraf aferen dan menyebabkan
aktivasi pusat miksi di medula spinalis
segmen sakral S 2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot destruso,
terbukanya leher buli-buli dan relaksasi spingter uretra sehingga terjadilah
proses miksi.
2.1.1.1.2. Uretra
Uretra
merupakan tabung yang menyalurkan urine
keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani.
Uretra
ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang disyarafi oleh
sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan
uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat
diperintah sesuai dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa ± 23-25
cm.
Secara
anatomis uetra terdiri dari dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh
spingter uretra eksternal.
Uretra
posterior pada pria terdiri atas uretra
pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan
uretra pars membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat
suatu tonjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum
ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus
ejakulatorius terdapat dipinggir kanan dan kiri verumontanum, sedangkan sekresi
kelenjar prostat bermuara didalam duktus prostatiks yang tersebar di uretra
prostatika.
Uretra
anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra
anterior terdiri atas:
1. Pars bulbosa,
2. Pars pendularis,
3. Fossa navikulare, dan
4. Meatus uretra eksterna.
Didalam
lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam
proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis
bermuara diuretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar para
uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
2.1.1.1.3. Kelenjar prostat
Prostat adalah suatu
organ yang terdiri dari komponen kelenjar, stroma dan muskular. Kelenjar ini
mulai tumbuh pada kehamilan umur 12 minggu karena pengaruh dari horman androgen
yang berasal dari testis janin. Prostat merupakan derivat dari jaringan
embrional sinus urogenital. Kelenjar prostat bentuknya seperti konnus terbalik yang
terjepit (kemiri).
Letak kelenjar prostat
disebelah inferior buli-bulu, didepan rektum dan membungkus uretra posterior.
Ukuran rata-rata prostat pada pria
dewasa 4 x 3 x 2,5 cm dan
beratnya kurang lebih 20 gram.
Pada tahun 1972 Mc. NEAL, mengemukakan konsep tantang zona
anatomi dari prostat. Menurut Mc. NEAL, komponen kelenjar dari prostat sebagian besar terletak/membentuk zona
perifer. Zona perifer ini ditambah dengan zona sentral yang terkecil merupakan
95 % dari komponen kelenjar. Komponen kelenjar yang lain ( 5% ) membentuk zona
transisi. Zona transisi ini terletak tepat di luar uretra di daerah
verumontanum. Proses hiperplasia dimulai di zona transisi ini. Sebagian besar proses keganasan (60-70 % )
bermula di zona perifer, sebagian lagi dapat tumbuh di zona transisi dan zona
sentral.
Prostat menghasilkan
suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan
kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.
Cairan ini merupakan 25 % dari volume
ejakulat.
Jika kelenjar ini
mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu
uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
2.1.2. Etiologi
Hingga
sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesa menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron ( DHT ) dan proses aging
( menjadi tua ).
Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah:
2.1.2.1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon
testosteron dan estrogen pada usia lanjut.
2.1.2.2. Peranan dari growth factor ( faktor
pertumbuhan ) sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
2.1.2.3. Meningkatnya
lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
2.1.2.2. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadinya
proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan se epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan.
2.1.3. Patofisiologi
Proses
pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada
tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi
saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari
masing-masing gejala adalah :
-
Penurunan
kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran
awal dan menetap dari BPH.
-
Hesistancy
terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra.
-
Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi
resistensi uretra sanpai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas
sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak dalam buli-buli.
-
Nokturia
dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi
sehingga interval antar miksi lebih pendek.
-
Frekuensi
terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena hambatan normal dari
korteks berkurang dan tonus spingter dan uretra berkurang selama tidur.
-
Urgensi
dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi involunter.
-
Inkontinensia
bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit, urine keluar
sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance
maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
Biasanya
gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptom ( LUTS ), dibedakan menjadi gejala
iritatif dan obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi ( frekuensi ), terbangun untuk miksi
pada malam hari ( nokturia ), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
(urgensi), dan nyeri pada saat miksi ( disuria ). Sedangkan gejala obstruktif
adalah pancaran melemah, rasa tidak lampias atau puas sehabis miksi, kalau mau
miksi harus menunggu lam ( hesitancy ), harus mengedan ( training ), kencing
terputus-putus ( intermittency ), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya
menjadi retensio urine dan inkontinen karena overflow.
Gejala
lain diluar saluran kemih, yaitu tidak jarang klien berobat ke dokter karena
mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini
karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan dari
tekanan intraobdominal.
Untuk
menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli/orgnisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif
dapat diisi dan dihitung sendiri oleh klien. Sistem skoring yang dianjurkan
oleh WHO adalah skor Internasional gejala prostat atau Internaional Prostatic Symptom Score ( I-PSS ).
Dari
skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
-
Ringan : skor 0-7
-
Sedang : skor 8-19
-
Berat : skor 20-35
Derajat
berat gejala klinik dibagi menjadi 4 gradasi berdasarkan penemuan pada colok
dubur dan sisa volume urine , seperti bagan dibawah :
Derajat
|
Colok
dubur
|
Sisa vol.
Urine
|
I
|
Penonjolan prostat, batas atas
mudah diraba
|
< 50 ml
|
II
|
Penonjolan prostat jelas, batas
atas dapat dicapai
|
50-100 ml
|
III
|
Batas atas prostat tidak bisa
diraba
|
> 100 ml
|
IV
|
Retensi urine total
|
Gejala
dan tanda pada klien yang lebih lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal,
dapat ditemukan uremia, peningkatan
tekanan darah, denyut nadi, respirasi, foetor uremik, peri karditis, ujung kaki
yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neuropati perifer. Bila sudah
terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di CVA (
Costa Vertebrae Angularis ).
2.1.5. Pemeriksaan Diagnostik
2.1.5.1. Inspeksi
buli-buli: ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah supra pubik ( buli-buli
penuh / kosong )
2.1.5.2. Palpasi buli-buli: Tekanan didaerah supra pubik
menimbulkan rangsangan ingin kencing
bila buli-buli berisi atau penuh. Terasa massa yang kontraktil dan
“Ballottement”.
2.1.5.3. Perkusi: Buli-buli yang penuh berisi urin
memberi suara redup.
2.1.5.4.
Colok dubur.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi
kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti
benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur harus
di perhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya
kenyal), adakah asimetris adakah nodul
pada prostat , apa batas atas dapat diraba .
Dengan colok dubur besarnya prostat
dibedakan :
-
Grade
1 : Perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
-
Grade
2 : Perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
-
Grade
3 : Perkiraan beratnya lebih dari 40 gram.
2.1.5.5. Laboratorium.
- Darah lengkap sebagai data dasar keadaan umum penderita .
- Gula darah dimak sudkan untuk mencari kemungkinan adanya
penyakit diabetus militus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada
buli-buli (buli-buli nerogen).
- Faal ginjal (BUN, kreatinin serum) diperiksa untuk mengetahui
kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas .
- Analisis urine diperiksa untuk melihat adanya sel leukosit,
bakteri, dan infeksi atau inflamasi pada saluran kemih .
- Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebadkan infeksi dan sekligus menentukan sensitifitas kuman terhadap
beberapa anti mikroba yang diujikan.
2.1.5.6. Flowmetri :
Flowmetri adalah alat kusus untuk
mengukur pancaran urin dengan satuan ml/detik. Penderita dengan sindroma
protalisme perlu di periksa dengan flowmetri sebelum dan sesudah terapi.
Penilaian :
Fmak <10ml/detik --------àobstruktif
Fmak 10-15 ml/detik-----àborderline
Fmak
>15 ml/detik-------ànonobstruktif
2.1.5.7. Radiologi.
- Foto polos abdomen, dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli, adanya batu atau kalkulosa prostat
dan kadang kadang dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine,
yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
- Pielografi intra vena, dapat dilihat supresi komplit dari fungsi
renal, hidronefrosis, dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter
berkelok kelok di vesikula ) inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel,
residu urine atau filling defect divesikula.
- Ultrasonografi (USG), dapat dilakukan secara transabdominal atau
trasrektal (trasrektal ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui
pembesaran prostat < pemeriksaan USG dapatpula menentukan volume buli-buli,
meng ukur sisa urine dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan
batu .Dengan TRUS dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang
tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik.
- Cystoscopy (sistoskopi) pemeriksaan dengan alat yang disebut
dengan cystoscop. Pemeriksaan ini untuk memberi gambaran kemungkinan tumor
dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari
muara ureter, atau batu radiolusen didalam vesika. Selain itu dapat juga
memberi keterangan mengenahi besarprostat dengan mengukur panjang uretra pars
prostatika dan melihat penonjalan prostat kedalam uretra.
2.1.5.8. Kateterisasi:
Mengukur “rest urine “ Yaitu mengukur jumlah sisa urine setelah miksi sepontan
dengan cara kateterisasi . Sisa urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap
sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hiper tropi prostat .
2.1.7. Penatalaksanaan Medis
Modalitas terapi
BPH adalah :
a. Watchful (observasi)
Yaitu pengawasan
berkala pada klien
setiap 3 – 6 bulan
kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien
b. Medikamentosa
Terapi ini
diindikasikan pada BPH
dengan keluhan ringan,
sedang, dan berat
tanpa disertai penyulit serta indikasi
terapi pembedahan tetapi
masih terdapat kontraindikasi atau
belum “well motivated”
Obat yang digunakan
berasal dari: phitoterapi
(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),
gelombang alfa blocker
dan golongan supresor
androgen.
c. Pembedahan
Indikasi pembedahan
pada BPH adalah :
1) Klien yang
mengalami retensi urin
akut atau pernah
retensi urin akut.
2) Klien dengan
residual urin >
100 ml.
3) Klien dengan
penyulit.
4) Terapi medikamentosa
tidak berhasil.
5) Flowmetri menunjukkan
pola obstruktif.
Pembedahan dapat
dilakukan dengan :
1) Pembedahan biasa
/ open prostatektomi.
2) TURP.
3) Alternatif lain
(misalnya: TUIP, TUBD,
Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, TUNA, Terapi Ultrasonik
dan TULIP.
2.2. MANAJEMEN KEPERAWATAN
2.2.1. PENGKAJIAN
Pengkajian
merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. pengumpulan data yang
akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola
pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta
merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian dibagi menjadi
2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi TUR-P dan penkajian post operasi TUR-P.
2.2.1.1. Pengkajian pre operasi TUR-P
Pengkajian ini
dilakukan sejak klien ini MRS sampai saat operasinya, yang meliputi :
2.2.1.1.1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis
kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan diagnosa medis.
2.2.1.1.2. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi ,
nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis
miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya menjadi
retensio urine.
2.2.1.1.3. Riwayat penyakit dahulu .
Adanya penyakit yang berhubungan
dengan saluran perkemihan, misalnya ISK
(Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis yang pernah di
derita. Operasi yang pernah di jalani
kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi .
2.2.1.1.4.
Riwayat penyakit keluarga .
adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit BPH Anggota keluargayang menderita DM, asma, atau hipertensi.
2.2.1.1.5. Riwayat psikososial
2.2.1.1.5.1. Intra personal
Kebanyakan
klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan. Kecemasan ini muncul
karena ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan dapat
dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
2.2.1.1.5.2. Inter
personal
Meliputi peran klien dalam keluarga
dan peran klien dalam masyarakat.
2.2.1.1.6. Pola fungsi kesehatan
2.2.1.1.6.1.Pola
persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien ditanya tentang kebiasaan merokok,
penggunaan tembakau, penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan upaya yang
biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan diri (pemeriksaan kesehatan
berkala, gizi makanan yang adekuat )
2.2.1.1.6.2.Pola nutrisi dan
metabolisme
Klien ditanya frekuensi makan, jenis
makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan
menelan atau keadaan yang mengganggu
nutrisi seperti nause, stomatitis, anoreksia
dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak mengalami gangguan atau masalah.
2.2.1.1.7. Pola eliminasi
Klien ditanya tentang pola berkemih,
termasuk frekuensinya, ragu ragu,
menetes - netes, jumlah klien harus bangun pada malam hari untuk berkemih,
kekuatan system perkemihan. Klien juga ditanya apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan
aliran kemih. Klien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti
konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
2.2.1.1.8. Pola tidur
dan istirahat .
Klien ditanya lamanya tidur, adanya
waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari (
nokturia ). Kebiasaan tidur memekai bantal atau situasi lingkungan waktu tidur
juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur.
2.2.1.1.9. Pola
aktifitas .
Klien ditanya aktifitasnya sehari –
hari, aktifitas penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Apakah ada
perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum
operasi tidak mengalami gangguan, dimana
klien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
2.2.1.1.10. Pola
hubungan dan peran
Klien ditanya bagaimana hubungannya
dengan anggota keluarga, pasien lain, perawat atau dokter. Bagai mana peran
klien dalam keluarga. Apakah klien dapat berperan sebagai mana seharusnya.
2.2.1.1.11. Pola
persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan
atau emosi yang dialami atau dirasakan klien sebelum pembedahan . Biasanya
muncul kecemasan dalam menunggu acara operasinya. Tanggapan klien tentang
sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam menghadapi sakitnya,
apakah ada perasaan malu dan merasa tidak berdaya.
2.2.1.1.12. Pola
sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman,
rasa, raba, lihat dan pendengaran dari klien. Pola kognitif berisi tentang
proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan waham. Pada klien biasanya tidak
terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.
2.2.1.1.13. Pola
reproduksi seksual
Klien ditanya jumlah
anak, hubungannya dengan pasangannya, pengetahuannya tantangsek sualitas. Perlu
dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang, masalah seksual yang dialami
sekarang ( masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan pola perilaku seksual.
2.2.1.1.14. Pola
penanggulangan stress
Menanyakan apa klien merasakan
stress, apa penyebab stress, mekanisme penanggulangan terhadap stress yang
dialami. Pemecahan masalah biasanya dilakukan klien bersama siapa. Apakah
mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif.
2.2.1.1.15. Pola tata
nilai dan kepercayaan
Klien menganut agama
apa, bagaimana dengan aktifitas keagamaannya. Kebiasaan klien dalam menjalankan
ibadah.
2.2.1.2. Pemeriksaan fisik
2.2.1.2.1. Status kesehatan umum
Keadaan penyakit, kesadaran, suara
bicara, status/ habitus, pernafasan, tekanan darah, suhu tubuh, nadi.
2.2.1.2.2. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya,
adakah kelainan pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku klien ,
2.2.1.2.3. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau
tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau trauma pada kepala.
Muka
Bentuk simetris atau tidak adakah
odema, otot rahang bagaimana keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.
2.2.1.2.4. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak
mata odema atau tidak. Pada konjungtiva
terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan. Slera tampak ikterus atau tidak.
2.2.1.2.5 Telinga
Ada atau tidak keluar
secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya, apa ada gangguan
pendengaran.
2.2.1.2.6. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah
pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip, apakah hidung berbau dan
adakah pernafasan cuping hidung.
2.2.1.2. 7.Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan
gusi apakah ada perdarahan atau ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.
2.2.1.2. 8.Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku
kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
2.2.1.2.9. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah
gynecomasti.
2.2.1.2. 10. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau
penarikan. Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas
tambahan seperti ronchi , wheezing atau egofoni.
2.2.1.2. 11. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak
atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau getarannya.
2.2.1.2. 12. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan
retensi umumnya ada penonjolan kandung
kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien
biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak.
Peristaklit usus menurun atau meningkat.
2.2.1.2.13. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia.
Pembesaran prostat dapat teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang
terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan
testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
2.2.1.2.14. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi.
Jari – jari tremor apa tidak. Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar
pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau
nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.
2.2.1.3. Pemeriksaan diagnostik
Untuk pemeriksaan diagnostik sudah
dijabarkan penulis pada konsep dasar.
a)
Pengkajian post operasi TUR-P
Pengkajian ini dilakukan setelah
klien menjalani operasi, yang meliputi:
1. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda
antara klien yang satu dengan yang lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul
pada klien post operasi TUR-P adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena
spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi pada waktu pembedahan. Hal
ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien sendiri.
2. Keadaan umum
Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien,
suara bicara.
3. Sistem respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada
sumbatan pada jalan nafas atau tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas
, irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak. Gerakan otot
Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan dada dan perut. Tanda –
tanda cyanosis ada atau tidak.
4. Sistem sirkulasi
Yang dikaji: nadi (
takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu tubuh, monitor jantung ( EKG
).
5. Sistem gastrointestinal
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi,
inkontinensia alvi, konstipasi / obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah
flatus apa belum, apakah ada mual dan muntah.
6. Sistem neurology
Hal yang dikaji: keadaan atau kesan
umum, GCS, adanya nyeri kepala.
7. Sistem muskuloskleletal
Bagaimana aktifitas klien sehari –
hari setelah operasi. Bagaimana memenuhi kebutuhannya. Apakah terpasang
infus dan dibagian mana dipasang serta
keadaan disekitar daerah yang terpasang infus. Keadaan ekstrimitas.
8. Sistem eliminasi
Apa ada ketidaknyamanan pada supra
pubik, kandung kemih penuh . Masih ada
gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah ada tanda – tanda perdarahan,
infeksi. Memakai kateter jenis apa. Irigasi kandung kemih. Warna urine dan
jumlah produksi urine tiap hari. Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan
kateter.
9. Terapi yang diberikan setelah operasi
Infus yang terpasang, obat – obatan
seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih.
2.2.1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
2.2.1.1. Diagnosa sebelum operasi
2.2.1.1.1. Perubahan
eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi,
nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi
mekanik : pembesaran prostat.
2.2.1.1.2. Nyeri
sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap pelebaran
prostat.
2.2.1.1.3. Cemas
sehubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan
tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi.
2.2.1.1.4. Gangguan tidur
dan istirahat sehubungan dengan sering terbangun sekunder terhadap kerusakan
eliminasi: retensi disuria, frekuensi,
nokturia.
2.2.1.2. Diagnosa setelah operasi
2.2.1.2.1.
Nyeri sehubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P.
2.2.1.2.2.
Perubahan eliminasi urine sehubungandengan obstruksi sekunder dari TUR-P:
bekuan darah odema.
2.2.1.2.3.
Potensial infeksi sehubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih sering.
2.2.1.2.4.Potensial
untuk menderita cedera: perdarahan sehubungan dengan tindakan pembedahan.
2.2.1.2.5.Potensial
disfungsi seksual sehubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P).
2.2.1.2.6.Kurang
pengetahuan: tentang TUR-P sehubungan dengan kurang informasi .
2.2.1.2.7.
Gangguan tidur dan istirahat sehubungan dengan nyeri.
2.2.1. PERENCANAAN
2.2.1.1. Sebelum operasi
2.2.1.1. Perubahan
eliminasi urine: frekuensi, urgensi, resistancy, inkontinensi, retensi,
nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obtruksi
mekanik: pembesaran prostat.
Rencana tindakan :
1.
Jelaskan
pada klien tentang perubahan dari pola eliminasi .
2.
Dorong
klien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam dan bila dirasakan .
3.
Anjurkan
klien minum sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung bila diindikasikan
4.
Perkusi /
palpasi area supra pubik
5.
Observasi
aliran dan kekuatan urine, ukur residu urine pasca berkemih. Jika volume residu
urine lebih besar dari 100 cc maka jadwalkan program kateterisasi intermiten.
6.
monitor
laboratorium: urinalisa dan kultur, BUN,
kreatinin.
7.
Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat: antagonis
Alfa - adrenergik (prazosin)
Rasional :
1 . Meningkatkan
pengetahuan klien sehingga klien
kooperatif dalam tindakan keperawatan.
2 . Meminimalkan retensi
urine, distensi yang berlebihan pada kandung kemih
3 . Peningkatan aliran
cairan, mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih
dari pertumbuhan bakteri.
4.
Distensi
kandung kemih dapat dirasakan di area
supra pubik.
5.
-
Observasi aliran dan kekuatan urine untuk
mengevaluasi adanya obstruksi
- Mengukur residu urine
untuk mencegah urine statis karena dapat beresiko infeksi
6. Statis urinarias
potensial untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko ISK. Pembesaran prostat
dapat menyebabkan dilatasi saluran kemih atas
(ureter dan ginjal), potensial merusak fungsi ginjal dan menimbulkan
uremia.
7. Mengurangi obstruksi
pada buli-buli, relaksasi didaerah prostat sehingga gangguan aliran air seni
dan gejala-gejala berkurang.
2.2.1.1. Nyeri sehubungan
dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap pelebaran prostat.
Rencana tindakan :
1.
Kaji
nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 1-10 ), dan lamanya.
2.
Beri
tindakan kenyamanan, contoh: membantu klien melakukan posisi yang nyaman,
mendorong penggunaan relaksasi / latihan nafas dalam.
3.
Beri
kateter jika diinstruksikan untuk retensi urine yang akut : mengeluh ingin
kencing tapi tidak bisa.
4.
Observasi
tanda – tanda vital.
5.
Kolaborasi
dengan dokter untuk memberi obat sesuai indikasi, contoh: eperidin ( Dumerol )
Rasional :
1. Memberi informasi
untuk membantu dalam menentukan pilihan
Intervensi
2. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali
perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
3 Retensi urine menyebabkan infeksi saluran
kemih, hidro ureter dan hidro nefrosis
4. Mengetahui perkembangan lebih
lanjut
5. Untuk menghilangkan nyeri hebat / berat,
memberikan relaksasi mental dan fisik.
2.2.1.1. Cemas sehubungan
dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan tentang aktifitas
rutin dan aktifitas post operasi.
Rencana tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan
klien atau keluarga.
2. Dorong klien atau
keluarga untuk menyatakan perasaan /
masalah.
1.
Beri
informasi tentang prosedur / tindakan yang akan dilakukan, contoh: kateter, urine
berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang
diinginkan klien.
4. Jelaskan pentingnya peningkatan asupan
cairan.
5. Jelaskan pembatasan aktifitas yang diharapkan
:
a.
tirah baring untuk hari pertama post operasi
b. ambulasi progresif yang dimulai
hari pertama post operasi
c. hindari aktifitas yang
mengencangkan daerah kandung kemih
6. Observasi tanda - tanda vital.
Rasional :
1. Menunjukan perhatian
dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam mendiskusikan tentang subyek
sensitif.
2. Mengidentifikasi masalah, memberikan
kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep dan solusi
pemecahan masalah.
3. Membantu klien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi
masalah karena ketidaktahuan.
4. Urine yang encer dapat menghambat
pembentukkan klot.
5.
Pemahaman klien dapat membantu mengurangi cemas yang berhubungan dengan
kecemasan akibat ketidaktahuan.
6. Perubahan tanda – tanda vital mungkin menunjukkan tingkat kecemasan yang dialami klien.
2.2.1.1. Gangguan tidur
dan istirahat sehubungan dengan sering
terbangun sekunder terhadap kerusakan
eliminasi: retensi, disuria, frekuensi, nokturia.
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien dan keluarga
penyebab gangguan tidur / istirahat dan kemungkinan cara untuk menghindarinya.
2. Ciptakan suasana yang
mendukung dengan mengurangi kebisingan.
3. Beri kesempatan klien
untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
4. Batasi masukan cairan waktu malam
hari dan berkemihsebelum tidur.
5. Batasi masukan minuman
yang mengandung kafein.
Rasional :
1.
Meningkatkan
pengetahuan klien sehingga klien mau kooperatif terhadap tindakan keperawatan.
2.
Suasana
yang tenang akan mendukung istirahat klien.
3.
Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan.
2. Mengurangi frekuensi berkemih malam
hari.
3. Kafein dapat merangsang untuk sering
berkemih.
2.
Sesudah operasi
2.2.1.1. Nyeri sehubungan
dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Rencana tindakan :
1.
Jelaskan
pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
2.
Pemantauan
klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala
dini dari spasmus kandung kemih.
3.
Jelaskan
pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48
jam.
4.
Beri
penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
5.
Anjurkan
pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
6.
Ajarkan
penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
7.
Jagalah
selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada
kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
8.
Observasi
tanda – tanda vital
9.
Kolaborasi
dengan dokter untuk memberi obat – obatan
( analgesik atau anti spasmodik )
Rasional :
1.
Kien
dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2.
Menentukan
terdapatnya spasmus sehingga obat –
obatan bisa diberikan.
3.
Meberitahu
klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4.
Mengurang
kemungkinan spasmus.
5. Mengurangi
tekanan pada luka insisi
4.
Menurunkan
tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan
koping.
5.
Sumbatan
pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih
dengan peningkatan spasme.
6.
Mengetahui
perkembangan lebih lanjut.
7.
Menghilangkan
nyeri dan mencegah spasmus kandung
kemih.
2.2.1.1. Perubahan pola
eliminasi urine sehubungan dengan obstruksi sekunder dari TUR-P: bekuan darah,
edema.
Rencana tindakan:
1.
Pertahankan
irigasi kandung kemih yang konstan selama 24 jam pertama
2.
Pertahankan
posisi dower kateter dan irigasi kateter.
3.
Anjurkan
intake cairan 2500-3000 ml sesuai toleransi.
4.
Setalah
kateter diangkat, pantau waktu, jumlah urine dan ukuran aliran. Perhatikan
keluhan rasa penuh kandung kemih, ketidakmampuan berkemih, urgensi atau gejala
– gejala retensi.
5.
Kaji
output urine dan karakteristiknya
Rasional:
1.
Mencegah
retensi pada saat dini.
2.
Mencegah
bekuan darah karena dapat menghambat aliran urine.
3.
Mencegah
bekuan darah menyumbat aliran urine.
4.
Melancarkan
aliran urine.
5.
Mendeteksi
dini gangguan miksi.
2.2.1.1. Potensial
infeksi sehubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih sering.
Rencana tindakan:
1.
Pertahankan
sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
2.
Anjurkan
intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.
3.
Pertahankan
posisi urobag dibawah.
4.
Observasi
tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
5.
Observasi
urine: warna, jumlah, bau.
6.
Kolaborasi
dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
Rasional:
1.
Mencegah
pemasukan bakteri dan infeksi .
2. Meningkatkan output urine sehingga resiko
terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
3. Menghindari
refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4.
Mencegah
sebelum terjadi shock.
5. Mengidentifikasi
adanya infeksi.
6.
Untuk
mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
2.2.1.1. Potensial untuk
menderita cidera: perdarahan sehubungan dengan tindakan pembedahan .
Rencana tindakan:
1.
Jelaskan
pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda –
tanda perdarahan .
2.
Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
.
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan
memberi obat untuk memudahkan defekasi .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal,
pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi
di pasang dan kapan traksi dilepas .
6. Observasi:
-
Tanda – tanda vital tiap 4 jam
-
Masukan dan haluaran
-
Warna urine
Rasional :
1. Menurunkan kecemasan klien dan
mengetahui tanda – tanda perdarahan
.
2. Gumpalan dapat menyumbat kateter,
menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
3. Dengan peningkatan tekanan pada fosa
prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
4. Dapat menimbulkan perdarahan prostat
.
5. Traksi kateter menyebabkan
pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya
dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6. Deteksi awal terhadap komplikasi,
dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen
2.2.1.1. Potensial
disfungsi seksual sehubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Rencana tindakan :
1. Beri kesempatan pada
klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap seksual .
2 . Jelaskan tentang :
a . Kemungkinan kembali
ketingkat tinggi seperti semula .
b . Kejadian ejakulasi
retrograd (air kemih seperti susu)
3 . Mencegah hubungan
seksual 3-4 minggu setelah operasi .
4 . Dorong klien untuk
menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan lanjutan
.
Rasional :
1 . Untuk mengetahui
masalah klien .
2 . Kurang pengetahuan
dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual.
3 . Bisa terjadi
perdarahan dan ketidaknyamanan
4 . Untuk
mengklarifikasi kekhatiran dan
memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.
2.2.1.1. Kurang
pengetahuan: tentang TUR-P sehubungan dengan kurang informasi
Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas
berat selama 3-4 minggu .
2. Beri penjelasan untuk
mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja untuk
laksatif sesuai kebutuhan.
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000
ml/hari.
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada
dokter.
5. Kosongkan kandung
kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
Rasional:
1. Dapat menimbulkan
perdarahan .
2. Mengedan bisa
menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan pada
waktu BAB
3. Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan
darah .
4. Untuk menjamin tidak
ada komplikasi .
5. Untuk membantu proses
penyembuhan .
2.2.1.1. Gangguan tidur sehubungan
dengan nyeri
Rencana tindakan:
1.
Jelaskan
pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk
menghindari.
2.
Ciptakan
suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
3.
Beri
kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
4.
Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik
).
Rasional:
1.
meningkatkan
pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .
2.
Suasana
tenang akan mendukung istirahat .
3.
Menentukan
rencana mengatasi gangguan .
4.
Mengurangi
nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .
2.2.4. PELAKSANAAN
Pelaksanaan adalah realisasi dari
perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien, baik sebelum operasi dan
sesudah operasi. Beberapa petunjuk pada implementasi adalah sebagai berikut:
1 ) Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah divalidasi;
2 ) Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal, dilakukan dengan
cermat dan efisien pada situasi yang tepat;
3 ) Keamanan fisik dan psikologis dilindungi;
4 ) Dokumentasi intervensi dan respon klien.
2.2.5. EVALUASI
Evaluasi adalah bagian akhir dari
proses keperawatan . Semua tahap proses keperawatan ( diagnosis, tujuan,
intervensi ) harus dievaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk apakah tujuan dalam
rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang
Ada tiga alternatif yang dapat
dipakai perawat dalam memutuskan, sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu
tercapai, yaitu tujuan tercapai, tujuan tercapai sebagian dan tujuan tidak
tercapai. Untuk dapat menilai maka dilihat dari perilaku klien sebagai berikut:
1. Tujuan tercapai jika
klien mampu menunjukkan perilaku pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan,
sesuai dengan pernyataan tujuan.
2. Tujuan tercapai
sebagian jika klien telah mampu menunjukkan perilaku, tetapi tidak seluruhnya
sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan .
3. Tujuan tidak tercapai
jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali menunjukkan perilaku yang
diharapkan, sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Purnomo, Basuki B. 2000. Dasar
– dasar urologi. Malang: CV Infomedika.
Long, Barbara C. 1996. Pendekatan Medikal Bedah 3, Suatu pendekatan
proses keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Padjajaran.
Sjamsuhidayat, R ( et al ). 1997. Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran, EGC.
Lap / UPF Ilmu Bedah. 1994. Pedoman Diagnosa dan Terapi. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Airlangga.
Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran, EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3 jilid
kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Hardjowijoto, Sunaryo. 1999. Benign Prostat Hiperplasia. Surabaya: FK
UNAIR / RSUD Dr. Soetomo.
Black, Joyce M ( et al ).1991. Medical Surgical Nursing, A
Psychophysiologic Approach, fourth edition.
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah,volume 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Rencana Asuhan dan Dokumentasi
Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, edisi 2.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, edisi 6.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Keliat, Budi Anna. 1994. Proses Keperawatan. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran, EGC.
Lismidar, H. 1990. Proses Keperawatan. Jakarta: Universitas
Indonesia – pres
No comments:
Post a Comment